Rabu, 10 April 2013

Karakteristik Ajaran Islam

Oleh : Abu Muhammad

slam adalah agama yang dibawa oleh para nabi dan Rasul. Bahwa Allah SWT tidak mengutus para nabi dan Rasul-Nya kecuali mengajak manusia untuk menganut agama Islam dengan artian berserah diri kepada Allah, mengesakan Allah dan beribadah hanya kepada Allah semata.

Dan, oleh karena itulah, ketika Allah SWT mengutus Nabi akhir zaman, fokus yang dibawa oleh dibawa adalah mengajak manusia untuk berislam seperti yang telah diajarkan oleh nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya. Lalu Allah memproklamirkan bahwa hanya Islamlah yang diridhai oleh Allah SWT, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat-Nya:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini, telah Aku sempurnakan agamamu, dan Aku beri nikmat atasmu, dan Aku ridha bahwa Islam sebagai agama (yang sah)”. (Al-Maidah:3)

dan bagi siapa yang tidak mengambil Islam sebagai agamanya dan jalan hidupnya, maka dirinya akan tertolak dan merugi dunia akhirat.

Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agamanya, maka tidak akan diterima darinya, dan kelak diakhirat akan menjadi orang-orang yang merugi”. (Ali Imran:85)

Oleh karena itu perlu dipahami bahwa Islam adalah agama yang memiliki karakteristik yang universal sehingga mampu menjangkau lapisan masyarakat yang berlainan dan beragam model dan bentuknya; dari ras, suku, bangsa, warna kulit, bahasa, jenis, dan kedudukan. Dan dengan itulah, Islam memberikan banyak solusi dalam berbagai kehidupan di sepanjang zaman. Dan inilah yang merupakan karakteristik dari ajaran Islam yang hakiki.

1.Islam adalah agama Tauhid;

maka iman kepada pencipta alam merupakan kenyataan yang bisa diterima oleh setiap akal sehat. Pencipta itu ialah Allah yang hanya Dia saja yang berhak disembah. Oleh karena itu kalau memotong hewan atau nadzar harus ditujukan kepadaNya saja, terutama berdo’a. Rasulullah  bersabda :

الدعاء هو العبادة

“Do’a itu adalah ibadah.” (Hadits hasan shahih riwayat Turmudzi)

oleh karena itu tidak boleh ibadah itu ditujukan kepada selain Allah.

2.Islam agama pemersatu dan bukan pemecah belah.

Islam mengajarkan agar beriman kepada semua utusan Allah yang diutus-Nya untuk memberikan petunjuk kepada semua manusia dan untuk mengatur kehidupannya dan beriman bahwa Rasulullah “Muhammad saw” adalah khatimul anbiya (penutup para nabi), syari’atnya menggantikan semua syari’at yang sebelumnya. Beliau diutus kepada seantero manusia untuk menyelamatkan mereka dari kelaliman dan agama-agama palsu. Ditegaskan pula bahwa agama Islam selalu terpelihara kebenarannya.

3.Islam adalah agama yang mudah, jelas dan bisa dimengerti.

Islam tidak mengakui takhayul dan kepercayaan yang merusak serta falsafah yang sulit, ia dapat diterapkan di segala tempat dan waktu.

4.Islam tidak memisahkan antara moril dan meteril.

Ia memandang kehidupan ini sebagai kesatuan yang meliputi keduanya. Ia tidak mengambil salah satunya dan meninggalkan yang lain.

5.Islam mengajarkan persamaan, persaudaraan sesama muslim.

Ia anti terhadap semua yang bersifat perbedaan daerah dan tingkat sosial. Allah berfirman :

إن أكرمكم عند الله أتقاكم

“Sesungguhnya orang yang paling mulia pada sisi Allah di antaramu adalah yang paling takwa di antaramu.” (Al-Hujurat : 13).

6.Islam tidak mengajarkan kekuasaan pendeta yang memonopoli agama. Islam juga tidak mengenal pikiran yang sulit dibuktikan kebenarannya. Juga tidak mengenal apa yang disebut pembesar-pembesar agama yang dipuja. Setiap manusia bisa mempelajari Al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw menurut faham orang-orang shaleh dahulu, kemudian mewarnai kehidupan masyarakat sesuai dengan Qur’an dan Hadits.


Selasa, 10 April 2012

Islam Agama Cinta

Oleh : Al Ikhwan Net

Ketika perang Qadisiyyah meletus, Khalifah ‘Umar bin Khattab menulis surat kepada panglimanya, Sa‘ad bin Abi Waqqas, supaya menaklukkan Hilwan, sebuah propinsi di Irak. Maka dikirimlah 300 personel kavaleri di bawah komando Nadhlah bin Mu‘awiyah al-Ansari. Hari itu, setelah dengan mudah menguasai seluruh propinsi, mereka menyaksikan suatu kejadian luar biasa. Saat itu masuk waktu maghrib dan Nadhlah pun naik ke sebuah tempat yang agak tinggi di lereng bukit untuk mengumandangkan azan. Anehnya, setiapkali Nadhlah selesai mengumandangkan kalimat azannya, spontan terdengar suara seseorang menjawabnya. “Allahu akbar!” laung Nadhlah, “Kabbarta kabiran, ya Nadhlah!” sahut orang itu. “Asyhadu alla ilaha illa Allah” dijawab dengan “Kalimatul ikhlas, ya Nadhlah!”. Lalu ketika dilaungkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, suara misterius itu menyahut, “Huwa ad-dinu, wa huwa alladzi basysyarana bihi ‘Isa ibnu Maryam ‘alayhima as-salam, wa ‘ala ra’si ummatihi taqumu as-sa‘ah!” Nadhlah menyambung azannya, “Hayya ‘ala ash-shalah!” lalu dijawabnya, “Thuba liman masya ilayha wa waazhaba ‘alayha!”, sedangkan “Hayya ‘ala al-falah!” dijawab dengan “Qad aflaha man ajaaba Muhammadan shallallahu ‘alayhi wa sallam, wa huwa al-baqa’ li ummatihi”. Dan laungan “La ilaha illa Allah” disambut dengan “Akhlashta al-ikhlash, ya Nadhlah, faharrama Allah jasadaka ‘ala an-naar!”

Selesai azan, Nadhlah yang tentu saja tidak gentar, meskipun cukup heran, lantas berseru: “Siapakah engkau, hai orang yang dikasihi Allah!? Apakah engkau Malaikat, jin penghuni di sini, atau seorang hamba Allah (dari golongan manusia)? Engkau telah memperdengarkan pada kami suaramu, maka tunjukkanlah pada kami dirimu! karena kami ini datang atas perintah Allah dan Rasulullah saw. dan atas instruksi Umar bin Khattab!” Lalu tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti gempa bumi kemudian bukit itu terbelah, dan dari situ muncul seorang berambut dan berjenggot serba putih. Setelah memberi salam, orang misterius tersebut memperkenalkan dirinya: “Saya Zurayb bin Bartsamla, orang yang disuruh tinggal di bukit ini oleh hamba yang saleh ‘Isa bin Maryam alayhima as-salam dan didoakan oleh beliau dapat berumur panjang untuk menunggu turunnya beliau dari langit, dimana beliau akan memusnahkan babi, menghancurkan salib dan berlepas diri dari agama kaum Nasrani (yatabarra’ mimma nahalathu an-nashara).”

Kisah sejarah ini diriwiyatkan oleh Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya, al-Futuhat al-Makkiyyah, bab 36 (fi ma‘rifat al-Isawiyyin wa aqthabihim wa ushulihim). Lalu apa relevansi kisah tersebut? Menurut Ibnu Arabi, berdasarkan riwayat ini jelas sekali bahwa pengikut Nabi Isa yang murni tidak hanya mengimani kenabian Muhammad saw. tapi juga beribadah menurut syari‘atnya. Ini karena dengan kedatangan sang Nabi terakhir, syari’at agama-agama sebelumnya otomatis tidak berlaku lagi. Fa inna syari‘ata Muhammad saw. naasikhah!, tegas Ibnu Arabi, seraya mengutip hadis Rasulullah,

“Law kana Musa hayyan ma wasi‘ahu illa an yattabi‘ani).”

“Seandainya Nabi Musa hidup saat ini, maka beliau pun tidak dapat tidak mesti mengikutiku”

Di sini nampak cukup jelas sikap dan posisi Ibnu Arabi terhadap agama pra-Islam.

Ironisnya, sejak beberapa dekade yang lalu hingga sekarang, tokoh Sufi yang berasal dari Andalusia ini oleh sementara ‘kalangan’ acapkali ‘diklaim’ sebagai pelopor gagasan Islam inklusif. Nama beliau kerap ‘dicatut’ untuk menjustifikasi ide pluralisme agama. Tidak hanya itu, Syaikh tasawuf ini bahkan ‘dijadikan bemper’ untuk melegitimasi asumsi para penganut ‘agama perennial’ (religio perennis) bahwa dalam aspek esoteris dan pada dataran transenden, semua agama adalah sama, karena semuanya sama benarnya, sama sumbernya (Tuhan), dan sama misinya (pesan moral, perdamaian, dsb).

Dengan kata lain, seperti diungkapkan oleh Nurcholish Madjid (dalam kata pengantarnya untuk buku Tiga Agama Satu Tuhan, hal. xix), “Setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama.” Sebagaimana kita ketahui, pemahaman semacam ini dipopulerkan oleh F. Schuon, S.H. Nasr, W.C. Chittick dalam tulisan-tulisan mereka yang kini nampak mulai mendapat tempat di Indonesia. Untuk mendukung klaimnya, biasanya ‘kalangan’ ini mengutip tiga bait puisi Ibn Arabi dalam karya kontroversialnya, Tarjuman al-Asywaq, yang berbunyi: “Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput bagi menjangan, biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka‘bah tempat orang bertawaf, batu tulis Taurat, dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemanapun langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.”

Seolah membenarkan asumsinya sendiri (self-fulfilling prophecy), Nasr menyimpulkan bahwa disinilah Ibnu Arabi “came to realize that the divinely revealed paths lead to the same summit” (Lihat: Three Muslim Sages [Delmar, New York: Caravan Books, 1964], hlm.118).

Sekilas memang nampak meyakinkan. Akan tetapi sebenarnya kaum transendentalis [sengaja?] tidak mengemukakan—kalau bukan justru menyembunyikan—fakta bahwa Ibnu Arabi telah menjelaskan maksud semua ungkapannya dalam syarah yang ditulisnya sendiri, yaitu Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq (ed.Dr.M.‘Alamuddin asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and Social Studies, 1995, hlm.245-6). Di situ dinyatakan bahwa yang beliau maksudkan dengan ‘agama cinta’ adalah agama Nabi Muhammad saw., merujuk kepada firman Allah dalam al-Quran Ali Imran:31

“Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku!—niscaya Allah akan mencintai kalian.”

Dan memang dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi Maqam al-Mahabbah), Ibn Arabi dengan gamblang menerangkan apa yang beliau fahami tentang cinta dalam ayat tersebut. Berdasarkan objeknya, terdapat empat jenis cinta, kata beliau: (1) cinta kepada Tuhan (hubb ilahi); (2) cinta spiritual (hubb ruhani); (3) cinta alami (hubb thabi‘i); dan terakhir (4) cinta material (hubb ‘unsuri).

Setelah menguraikan tipologi cinta tersebut, Ibn Arabi dengan tegas menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-Nya saw (al-ittiba‘ li-rasulihi saw. fima syara‘a). Jadi, ‘agama cinta’ yang beliau maksudkan adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi Muhammad saw., dan bukan ‘la religion du coeur’ versi Schuon dan para pengikutnya itu.

Selain bait puisi di atas, kaum Transendentalis juga giat mencari pernyataan-pernyataan Ibn Arabi yang dapat di‘plintir’ to serve their own purposes. Ini biasanya disertai dengan tafsiran seenaknya yang sesungguhnya merupakan ekspresi ke‘sok tahu’an belaka dan murni reka-reka (conjecture) , sebagaimana terungkap dalam kalimat “perhaps Ibn Arabi would also accept”, “may be that”, “Ibn Arabi might reply” dsb. (Lihat Chittick, “A Religious Approach to Religious Diversity” dalam buku Religion of the Heart: Essays presented to Frithjof Schuon on his eightieth Birthday, ed. S.H. Nasr dan W. Stoddart, Washington, D.C.: Foundation for Traditional Studies, 1991).

Lebih parah lagi—dan ini yang perlu diwaspadai dan dikritisi—adalah praktek menggunting dan membuang bagian dari teks yang tidak mendukung asumsi mereka. Sebagai contoh, ketika mengutip sebuah paragraf dari Futuhat (bab) yang mengungkapkan pendapat Ibnu Arabi mengenai status agama-agama lain dalam hubungannya dengan Islam, Chittick tidak memuatnya secara utuh.

“All the revealed religions (shara’i‘) are lights. Among these religions, the revealed religion of Muhammad is like the light of the sun among the lights of the stars. When the sun appears, the lights of the stars are hidden, and their lights are included in the light of the sun. Their being hidden is like the abrogation of the other revealed religions that takes place through Muhammad’s revealed religion. Nevertheless, they do in fact exist, just as the existence of the light of the stars is actualized. This explains why we have been required in our all-inclusive religion to have faith in the truth of all the messengers and all the revealed religions. They are not rendered null (batil) by abrogation—that is the opinion of the ignorant.” (Lihat: Imaginal Worlds: Ibn Arabi and the Problem of Religious Diversity, New York: State University of New York Press, 1994, hlm.125).

Dengan [sengaja?] berhenti di situ, Chittick memberi kesan seolah-olah Ibnu Arabi menolak pendapat mayoritas kaum Muslimin bahwa semua agama samawi pra-Islam dengan sendirinya terabrogasi dengan datangnya Islam. Padahal maksud pernyataan Ibn Arabi adalah semua agama dan kitab suci yang dibawa oleh para rasul pada zaman dahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarah masing-masing—yakni sebelum Nabi Muhammad saw. muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Akan tetapi tidak berarti bahwa validitas tersebut berkelanjutan setelah kedatangan Rasulullah saw. atau bahkan sampai sekarang. “Nabi Isa pun, seandainya sekarang ini turun, niscaya tidak akan mengimami kita kecuali dengan mengikut sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari‘at kita.” (Wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi syar‘ina), demikian tegas Ibn Arabi (Lihat: Futuhat, bab 36).

Lebih jauh, dengan kutipan yang tidak komplit itu Chittick berusaha menggiring pada para pembaca agar meyakini bahwa Ibnu Arabi adalah seorang penganut pluralisme dan transendentalist seperti dirinya.

Sambungan pernyataan Ibnu Arabi yang dipotong oleh Chittick dalam kutipan tersebut di atas berbunyi: “Maka berbagai jalan [agama] semuanya bermuara pada jalan [agama] Nabi [Muhammad] saw. Karena itu, seandainya para rasul berada di zaman beliau, niscaya mereka mengikuti beliau sebagaimana syari‘at mereka ikut syari‘at beliau” (Fa raja‘at ath-thuruq kulluha nazhiratan ila thariq an-Nabiy shallallahu ‘alayhi wa sallama, fa law kanat ar-rusul fi zamanihi latabi‘uhu kama tabi‘at syara’i‘uhum syar‘ahu).

Bagaimana dengan ayat yang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan syari‘at dan jalan untuk masing-masing kalian (al-Ma’idah:48)

“Likullin ja‘alna minkum syir‘atan wa minhajan”.

Menurut Ibnu Arabi, kata ganti orang kedua dalam bentuk jamak (“kum”) dalam konteks ayat tersebut merujuk kepada para Nabi, bukan umat mereka. Sebab jika ia ditujukan kepada umat mereka, niscaya Allah tidak mengutus lebih dari seorang rasul untuk suatu umat. Dan jika kata “kalian” disitu difahami sekaligus untuk para rasul serta umat mereka, maka kita telah menta’wilkannya secara gegabah. Jadi maksud ayat tersebut, menurut Ibnu Arabi, bukan membenarkan semua jalan menuju Tuhan, atau menyamakan status semua agama. Sebaliknya, terdapat garis demarkasi yang jelas antara hak dan batil, iman dan kufur, tawhid dan syirik, dst. Kalau tidak, lanjut Ibnu Arabi, niscaya Nabi saw. tidak akan berdakwah mengajak orang masuk Islam, niscaya orang yang pindah agama (yartadid ‘an dinihi) tak disebut kafir (2:217) dan niscaya tidak keluar perintah membunuh orang yang murtad (hadits: “man baddala dinahu fa-qtuluhu”).

Oleh sebab itu, Ibnu Arabi menambahkan, orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang mengharuskan beriman kepada dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. (Selengkapnya dapat dilihat di Futuhat, bab 495, fi Ma‘rifati hal quthb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”).

Minggu, 11 April 2010

Mentarbiyah Dengan Cinta

Oleh : Al Ikhwan Net

DR. Maisarah Thahir berkata: Sarana tarbiyah dengan cinta, atau bahasa cinta, atau abcd cinta, ada delapan:

1. Kosa kata cinta

2. Pandang mata cinta

3. Suapan cinta

4. Sentuhan cinta

5. Selimut cinta

6. Pelukan cinta

7. Ciuman cinta

8. Senyum cinta

Pertama: Kosa kata cinta

Berapa kosa kata cinta kita ucapkan kepada anak-anak kita?

Dalam sebuah kajian dikatakan: seorang anak dari bayi sampai ABG telah mendengar tidak kurang dari 16 ribu kosa kata buruk, namun, ia hanya mendengar ratusan kosa kata baik!

Image yang tergambar dalam pikiran seorang anak tentang dirinya merupakan salah satu hasil dari omongan yang didengarnya, seakan sebuah kosa kata adalah sebuah kuas di tangan seorang pelukis, bisa jadi ia melukiskannya dengan warna hitam, bisa juga melukiskannya dengan berbagai warna indah. Jadi, kosa kata-kosa kata yang ingin kita ucapkan kepada anak-anak kita, harus yang baik, kalau tidak baik, jangan kita ucapkan.

Sebagian orang tua, sebagian kosa katanya (merendahkan, menjelek-jelekkan, merendahkan ciptaan Allah), akibatnya terhadap anak adalah (mengurung diri, permusuhan, ketakutan, tidak percaya diri).

Kedua: pandang mata cinta

Jadikan kedua matamu tepat pada kedua mata anakmu, disertai senyuman, dan bergumamlah dengan suara tidak terdengar: “aku mencintaimu wahai si fulan”, 3 atau 5 atau 10 kali, jika hal itu disikapi oleh anakmu celaan, atau merasa aneh, dan ia berkata: “apa yang kamu lakukan wahai ayahku”, maka jawablah: “aku rindu kepadamu wahai fulan”. Jadi, pandangan mata, dan cara ini, mempunyai dampak dan hasil yang luar biasa.

Ketiga: Suapan cinta

Cara ini tidak bisa dilakukan kecuali seluruh anggota keluarga berkumpul di satu meja makan. [nasihat: janganlah menempatkan tv di ruang makan], agar terjadi interaksi dan pertukaran pandangan mata. Dan saat menikmati santapan makan, hendaklah orang tua berusaha menyuapkan beberapa suap ke mulut anaknya [dengan catatan, anak kelas V atau VI SD ke atas, pasti merasa bahwa cara ini tidak bisa mereka terima], jika sang anak menolak menerima suapan itu di mulutnya, maka letakkan pada sendok atau piringnya. Hendaklah saat menyuapi disertai dengan pandangan mata cinta diiringi senyuman, kosa kata indah dan suara pelan: “demi Allah wahai anakku, saya sangat ingin menyuapimu dengan suapan ini, ini adalah kurir cintaku wahai sayangku”, setelah ini, pasti dia mau menerimanya.

Keempat: Sentuhan cinta

DR. Maisarah berkata: saya naihatkan agar orang tua memperbanyak sentuhan terhadap anaknya. Bukan sebuah kebijakan jika seorang ayah berbicara dengan anaknya pada dua kursi yang berbeda. Sebaiknya sang anak ada di sampingnya, dan hendaklah tangan sang ayah menempel di bahu anaknya (tangan kana nada di bahu kanan). Kemudian DR. Maisarah menjelaskan cara nabi SAW menghadapi lawan bicaranya: “Nabi Muhammad SAW menempelkan kedua lututnya dengan lutut lawan bicaranya, dan meletakkan kedua tangan beliau di atas kedua paha lawan bicaranya, dan posisi menghadap secara penuh”. Sekarang terbukti bahwa sekedar sentuhan seseorang merasa dicintai dan kehangatan hubungan meningkat ke puncak tertinggi. Karenanya, jika hendak berbicara dengan sang anak, atau hendak menasihatinya, janganlah duduk berjauhan, sebab, dengan begini, terpaksa harus bersuara keras, dan [suara keras membuat sang anak lari] dan jika sang anak itu laki-laki, maka peganglah bagian pahanya, dan jika sang anak perempuan, maka peganglah bahunya, dan peganglah tangannya dengan penuh kasih saying, letakkan kepala sang anak pada bahu sang ayah, agar ia merasa dekat, aman, dan tersayang, sambil katakana: “Aku bersamamu, aku akan memohonkan pengampunan untukmu jika kamu bersalah”.

Kelima: selimut cinta

Hendaklah setiap malam seorang ayah atau ibu melakukannya, jika sang anak telah tidur, maka datangilah ia dan ciumlah, niscaya dia akan merasakan kehadiranmu, karena jenggot wajahmu yang biasa engkau bercanda dengannya, jika ia membuka satu matanya sedangkan yang lainnya masih meram dan ia berkata: “engkau datang wahai ayahku?”

Maka katakan kepadanya: “Betul, aku datang wahai sayangku!”. Dan selimutilah dia

Dalam pemandangan ini, sang anak akan berada dalam kondisi setengah sadar antara tidur dan tidak, dan pemandangan tadi akan tetanam dalam pikirannya, dan saat ia terbangun pada esok harinya, ia akan teringat bahwa semalam ayahnya datang dan melakukan ini dan itu.

Dengan perbuatan seperti ini, menjadi dekatlah jarak antara orang tua dan anak dan kita wajib dekat dengan anak dengan pisik dan hati kita.

Keenam: Dekapan cinta

Janganlah kalian pelit dengan dekapan terhadap anak. Sebab, keperluan anak kepada dekapan sama dengan keperluannya kepada makanan, minuman dan udara, setiap kali ada yang terkonsumsi, niscaya diperlukan yang lainnya.

Ketujuh: ciuman cinta

Rasulullah SAW mencium salah seorang cucunya; Hasan atau Husain. Perbuatan ini terlihat oleh al-Aqra’ bin Habis, maka ia berkata: “Apakah engkau mencium anak-anak kecil?!! Demi Allah, saya mempunyai sepuluh anak, tidak pernah aku mencium seorang pun dari mereka!! Maka Rasulullah SAW bersabda: “Kalau saja aku mempunyai kemampuan untuk mencabut kasih sayang dari dalam hatimu”

Wahai para orang tua, ciuman kepada anak merupakan satu ekspresi kasih sayang, betul, kasih sayang yang menjadi focus ajaran Al-Qur’an, Allah SWT menjelaskan bahwa ia merupakan rahasian ketertarikan manusia kepada suatu keyakinan, dan jika kasih sayang ini hilang dari perilaku kita terhadap anak-anak kita, berarti kita telah menjauhkan mereka dari kita, baik kita sebagai perseorangan maupun kita sebagai para da’i, da’i Islam.

Kedelapan: Senyum cinta

Inilah sarana-sarana cinta, siapa yang menerapkannya, niscaya mendapatkan cinta dari mereka yang berinteraksi dengannya.

Sebagian orang tua saat dinasihati demikian berkomentar: “Kami tidak terbiasa”.

Subhanallah!! Adakah kebiasaan itu Qur’an yang turun dari langit yang kita tidak bisa merubahnya!!

Sarana-sarana ini ibarat air, dengannya tanaman cinta akan tumbuh di dalam hati. Dan jika kita ingin dibaiki oleh anak kita, baikilah anak kita, dan sayangilah mereka.

Perlu diketahui bahwa cinta tidak sama dengan tutup mata atau membiarkan kesalahan.